Waktu adalah misteri dari manusia. Dia memberi cerita, kenangan dan juga harap. Walau awalnya kadang tak sesuai ekspektasi sebagai hamba. Maka setelahnya kita akan selalu disodorkan pada sebuah pesan :
Tuhan memberi apa yang kita butuhkan, bukan apa yang kita inginkan.

Ibu kota dilanda banjir besar. Itu yang saya ingat waktu pertama kali ke Jakarta. Sebuah kantor yang tak terlalu besar menjadi tujuan kala itu. Lembaga Psikotest independen. Untuk syarat masuk sebuah perusahaan BUMN.
Keberuntungan, mungkin itu yang pantas saya sematkan. Lolos dalam waktu kurang 4 bulan dengan berbagai tes menurut saya adalah waktu yang relatif singkat. Dan kini, saya menyadari perjalanan ke Jakarta adalah tempat mengenal diri. Perjalanan ke Jakarta adalah tempat menjilat ludah sendiri. Saat mahasiswa ini pernah bersumpah. ” Saya tak ingin kerja di Jakarta, saya tak mau menua di jalan ” tapi akhirnya 9 tahun tetap saja masih disini, Di Jakarta….
Manusia hanya berkehendak, takdir waktu yang akan menjawab nyatanya memang benar adanya. Untaian nasib ternyata membuat saya diterima di perusahaan BUMN ini. Ikatan dinas, masa pelatihan sebelum masuk harus dijalani. Apesnya adalah sempat ingin berhenti di tengah jalan dan menyerah. Tapi ternyata tidak terjadi. Sampai 9 tahun lamanya. Tak terasa.
Saya masih ingat sekali terjatuh dari nasib. Perlawanan terbesar mengantung leher dengan tali sumpah yang dilanggar adalah hal yang berat. Bayangkan engkau pernah punya janji tak ingin kerja di Jakarta dari awal kuliah. Nyatanya hangus, demi sebuah titel kebanggaan. Pegawai BUMN dengan sektor yang tak begitu besar, namun bisa dibilang lumayan untuk membuat orang di kampung sedikit bangga.
Dengan keadaan gontai dan ragu saya menjalani pekerjaan ini. Masa percobaan 1 tahun terasa berat. Saya masih ingat bebal saya terhadap kawan yg mengajari. Saya masih ingat amarah yang menjelma menjadi pil negatif dalam sebuah pribadi. Menjengkelkan mungkin itu yang saya terima tentang diri. Dan saya harus bilang, saya benci dengan diri saya saat itu.
Hidup dalam kalung negatif dan pesimistis rasanya berat sekali. Masih kuingat hari itu. Kawan dekat bernama Bak dan Tit menemani saya hampir tiap malam. Bercerita, bersendau gurau dan tertawa. Begitu terus menerus sampai saya belum selesai berdamai dengan diri. Sampai kegiatan masa kecil ternyata membuka prespektif saya. Obat penerimaan diri. Kegiatan yang menjadi gerbang harap…
Saya tak pernah menyangka, di BUMN ada acara porseni BUMN. Lomba antar industri bahkan klub sepakbola di kantor sendiri. Porseni, sebuah kegiatan yang hampir jadi agenda tahunan waktu sekola, turnamen antar kota bahkan Provinsi. Hari demi hari mengubah saya. Kawan dari sepakbola di kantor menyadarkan saya. Keringat yang mengucur tiap berolahraga mendamaikan saya. Membawa dalam gerbang baru. Membawa dalam label penerimaan diri. Walau panjang, proses itu saya jalani. Walau panjang, perlahan kalung depresi negatif dalam diri akhirnya mulai lepas. Sedikit demi sedikit. Saya berdamai dengan Jakarta.

Seiring dengan nasib, doa dan keberuntungan. Pada akhirnya saya menyadari bahwa saya adalah bagian perusahaan itu. Rasa cinta sebenarnya timbul, bukan karena gaji tapi karena segala peristiwa yang dijalani. Tawa, perjalanan dinas, debat dan tips mengiringi langkah. Hingga akhirnya 9 tahun lama pekerjaan dijalani, 9 tahun berkawan dan 9 tahun yang akan selalu saya ingat.
Bayangkan kau punya kawan di kantor. Tiap tahun 3 sampai 4 kali minimal jalan dinas ke luar kota. Menghadapi segala peristiwa. Rasanya bukan sekedar kolega. Bisa diubah mungkin sahabat atau bahkan saudara.
Bayangkan kau punya kawan kantor, 8 jam di hari kerja selama 9 tahun. Saling berbagi, mungkin ada kala benci, mungkin ada kala celetuk receh. Dan itu jadi semesta rasa yang menjelma. Hingga kita lebih dekat dan semakin dekat.
Bayangkan para bos datang silih berganti. Tim tak banyak berubah. Klien masih sama. Memberi service terbaik yang kita bisa. Dan apakah kita butuh pengakuan akan hal itu? atau biarlah mereka menilai.
Pada akhirnya, dibawah terik matahari. Didekap alam yang indah. Gemricik sungai yang mendedangkan lagu rindu mengantar saya memilih sebuah pilihan, hingga bertemu pilihan selanjutnya.


Dalam lamun tulisan, tentu aksara tak akan bisa menjelaskan semua. Tapi mungkin inilah galeri yang bisa kita simpan. Dalam langkah awal 9 tahun ini. Saya harus bilang terima kasih sahabat untuk waktu yang luar biasa. Dan apakah hadiah terbaiknya?
Doa dan saling mendoakan. Untuk sehat, bahagia dan penuh keberkahan.

Maaf bila tak bisa disebut satu persatu. Tapi tak ada kata yang lebih indah selain terima kasih dan maaf bila ada yang salah selama ini.