Beberapa orang reviewer handal selalu bilang, kalo mau komentar soal makanan jangan cuma bilang enak atau enak banget. Tapi ceritakanlah setiap detail rasanya. Dan tiba-tiba saya termenung membaca pesan mereka.

Tutut
Aku selalu percaya bahwa setiap orang punya bank kata-kata sendiri. Mereka memilah bagaimana setiap ekspresi yang dirasakan indranya diterjemahkan dalam kata yang beraneka rupa. Dulu kita ingat slogan Maknyusmilik pak Bondan, Mantap Jiwadari Jerome, atau segala kata dari tokoh-tokoh besar lainnya. Tidak ada yang salah, tapi mungkin juga tidak ada yang benar. Karena setiap ekspresi adalah hak dasar bagi manusia.
Setiap pulang kampung halaman, aku selalu teringat dengan satu makanan yang mungkin bagi beberapa orang biasa saja. Namanya Tutut, atau lebih dikenal dengan Keong. Iya, keong yang biasanya hama di sawah ini bisa dijadikan makanan. Dengan beberapa olahan yang tentu saja sesuai selera kokinya. Untuk Ibu Mentri Kelautan, beliau suka mengolah Tutut dengan cara di Oseng, untuk Blogger kere yang bernama Bukanrastaman ini, dia lebih suka dengan model kuah. Konon katanya, suara sruputan kuah yang berasal dari keong tersebut adalah orchestra alami yang menggunggah alam pengalamannya.
Dulu Pukul 01:30 PM setelah pulang sekolah, saya dan teman saya sering berkunjung ke Warung Tutut. Warungnya tidaklah besar, hanya 2 meja kecil dan bangku panjang yang tersedia disana. Lalu apa yang istimewa? Dan saya akan menjawab suasananya.

Suasana Sendang Sani
Warung Tutut Sendang Sani yang dulu saya datangi itu asri sekali. Dia berpayung pohon beringin besar. Dekat kolam renang yang konon bersebelahan dengan area makam. Datang kesana bukanlah hawa angker yang dirasa. Tapi sebuah keasrian yang memang menarik sekali untuk dikunjungi. Tak heran, tempat ini adalah maskar saya dan kawan-kawan. Bercengkrama membahas soal musik, mimpi dan mungkin tawa.
Tutut bagi saya selalu punya rasa berbeda, dalam arti sebenarnya tentu tergantung bagaimana orang yang memasaknya. Namun rasa dalam sebuah pengalaman, adalah kekayaan investisi yang sangat layak untuk diingat. Dan pengalaman rasa itu selain saya tulis, juga saya bagikan dalam visual. Selamat menikmati Rasa Tutut dengan pengalaman yang tersimpan di dalamnya.
Mas, kalau di Jepara keong ini pasnya dimanak dengan Horog-horog. Enak banget. Aku dulu suka banget makan keong
Horog-horog itu apa mas, mau bangeeeet. Pengen ke Karimun Jawa
Klo di Jombang namanya Kreco mas, emakku suka beli ini via Facebook hahaha. Beberapa orang bilang klo makan ini antara halal dan haram karena lihatnya jijik. Aku sih enak-enak aja wkwkk
Hahaha baru denger aku namanya kreco, dan baru tahu ada antara halal dan haram.. kalo aku sih sikat aja, enaaaak bangeet
Baru sekali makan tutut saya hehe
Almarhum nenek saya paling jago masak tutut atau keong sawah ini. Digulai dengan santan kental terus diberi campuran daun bawang yang banyak. Rasanya aduhai banget. Masih terbayang gimana gurihnya. Dan masih terbayang juga gimana amisnya tangan kalau habis makan cuci tangannya gak begitu bersih hehehe