Semerbak wangi wisata negeri tetangga semakin mekar dan harum. Sedangkan di negeri sendiri tersiar kabar, jumlah wisatawan asing di ibukota semakin menurun.

SUNDA KELAPA
Lama tak berjalan menyusuri Jakarta. Ada perasaan rindu untuk mengunjungi Sunda Kelapa. Kapal-kapal kayu yang bersandar, aroma laut dan riuh para manusia dengan segala kesibukannya selalu menggoda untuk dijelajahi. Karena pada umur yang sekarang, aku pikir perjalanan bukan lagi soal lomba jarak mana yang paling jauh, namun juga soal memetik makna paling bisa berpengaruh dalam hidup.

Riuh Sunda Kelapa
Saya sampai di Sunda Kelapa pukul 06:00 pagi. Semburat mentari sudah meninggi. Namun kapal-kapal masih sepi. Beberapa penjaja sampan mulai menawarkan jasa. Bagi kamu yang belum tahu, di Sunda Kelapa ada 2 menara indah. Hanya bisa ditempuh dengan naik kapal. Harganya pun beragam, tapi tidak sampai mengoyak kantong lebih dalam. Karena dengan harga berkisar 60 ribu rupiah kamu akan dibawa berkeliling dermaga. Melihat jejeran buritan kapal, sampai penampakan Kapal Tol Laut yang sempat menjadi viral. Mengantarkan orang dan barang ke Pulau Seberang.

TOL LAUT

Buritan Kapal
Laut di Sunda Kelapa jelas tak biru. Namun entah kenapa ada perasaan betah berada di sana. Ayunan ombak yang tidak terlalu besar, sampah yang cukup mengganggu, bersama aktivitas manusia mencari nafkah menjadikan daerah ini hiburan sendiri.
Kau akan melihat aktivitas pemancing disana, orang mengais rejeki dari sampah laut sampai lalu lalang cerita pembawa kapal untuk wisata.

Pemungut sampah
Hari itu, satu dua patah kata dengan pembawa kapal membuka sebuah cerita. Saya menyebut namanya Jamal. Seorang nelayan dari kecil, lahir dari rahim Samudra yang berasal dari Bugis, suku laut terkenal di negeri ini. Sebuah manusia hidup atas kebaikan laut dan berjuang untuk merantau. Dari laut ke laut hingga menetap di Jakarta. Lewat daerah bernama Sunda Kelapa.

Pak Jamal
Jamal adalah salah satu kisah diantara ratusan cerita dari Sunda Kelapa. Dari mencari ikan di laut sampai mengantar wisatawan, dia mampu menyekolahkan 4 anaknya sampai satu dari mereka medapatkan gelar sarjana. Saya cukup terkejut dengan apa yang dia tuturkan. Bagaimana semangatnya dalam menghadapi hidup, meski umurnya menua.
Dari kecil dia sudah ikut kapal Phinisi. Mengantar barang dari satu pulau ke pulau lainnya. Dari jaman kapal hanya bergerak mengandalkan layar dan angin, sampai terciptanya mesin untuk lebih cepat menambahkan gerakan kapal. Tak heran dia kaya cerita, dari ombak yang hampir menenggelamkannya sampai uang yang benar-benar hanya cukup untuk makan walau sedikit saja.

Membuat Kapal Phinisi
Saya masih ingat sebuah cerita bagaimana suku Bugis dari desanya hampir 80% merantau. Lalu kemudian saling tak tahu kabar karena era smartphonebelum ada seperti sekarang. Wajahnya masih kuat di usia senja, tapi sakit lambung yang menyapanya membuat gerakannya makin terbatas. Tak heran dia memikirkan cara bagaimana bertahan hidup nantinya.
Obrolan panjang menjelang siang tiba-tiba membawa sebuah kisah bahwa dia dulu adalah pengrajin replika kapal. Iya, hampir tiga tahun lalu Sunda Kelapa masih ramai dipenuhi pengrajin replika kapal untuk buah tangan.
Namun, minimnya apresiasi membuat buah karya itu akhirnya gulung tikar. Lewat pengalaman setengah umurnya di Kapal Phinisi, Jamal belajar otodidak membuat replika kapal. Saya iseng menawarkan untuk memesan kepada beliau kapal replika. Kemudian melihat bagaimana proses membuatnya.
Detail demi detail memang beliau siapkan. Karyanya menurut saya bagus, disamping bagaimana prosesnya yang begitu lama. Memotong, merakit dan menyulam layar dia kerjakan satu persatu. Konon butuh waktu seminggu untuk membuat satu kapal. Dan saat sudah jadi kemudian saya membatin dalam hati.
Barangkali sebuah karya di tempat wisata harusnya bukan soal harga. Tapi bagaimana sebuah cerita yang terkandung di dalamnya.

Replika ini seharga 300rb, kalo minat silahkan order dan cari beliau di Sunda Kelapa
Hari itu Pak Jamal mengajarkan, bahwa perjalanan adalah tentang menemukan. Lalu menjadi diri sendiri untuk terus berbahagia.
Terima kasih Sunda Kelapa, terima kasih Jakarta.
Short Movie Pak Jamal
Pak peti sedang apa
Narasi, foto, dan videonya keren, Mas!
Makasih Qy, senang melihatmu komen di Blogku 🙂
Sama-sama Mas 😀
wah, suka sama fotonya, mantap..
makasih kak