Memilih Tak Perlu Melihat Film Bumi Manusia

Pada akhirnya hanya imajinasi yang menjadi kemewahan kita. Saat kehidupan belum begitu ramah, saat mimpi masih saja sulit diraih. Imajinasi itu yang membawa kita berdiri tegar. Dan sama seperti kata Pram dalam Bumi Manusia: “Kita telah melawan, sebaik baiknya, sehormat hormatnya.”

DSC01709

 

Masih hangat sekali, bagaimana saya menamatkan 4 buku karya Pram Tetralogi Pulau Buru. Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca. Masih ingat bagaimana betapa besarnya perjuangan bangsa ini dirangkai dalam setiap kata. Masih kuingat Bagaimana pedihnya luka yang ditaruh oleh penjajah hingga saat Belanda sudah pergi, kebangsatannya berpindah kepada warga sendiri yang bermental rakus, saling mengadu domba  dan selalu butuh panggung untuk eksistensi.

Akhir-akhir ini media sosial sedang ramai. Bumi Manusia hadir secara visual. Gegap gempita karya besar anak bangsa difilmkan di layar kaca. Buku Pram yang dulu sempat dilarang beredar pun kini lakunya luar biasa. Semua orang menasbihkan diri, seolah dia yang paling paham arti berjuang, meski kadang perjalanannya hanya sekedar roman dan eksistensi.

Kebanyakan orang berkisah, bahwa bahasa visual adalah jalan terbaik. Menyapa generasi baru untuk membuka sejarah. Untuk menguatkan rantai kenangan agar bisa disesuaikan dengan zaman. Sampai banyak bermunculan para review film yang belum membaca novelnya namun bersuara besar. Bagus-bagus sekali mereka bilang.

Saya tidak menyalahkan adanya film, saya tidak menyalahkan mereka yang mendapatkan bayaran besar memerankan peran. Karena barangkali, dengan hak cipta dia mampu memberi sedikit apresiasi kepada keluarga Pram yang mungkin menderita.

Dan sekali lagi, barangkali dengan film Bumi Manusia ini, ada yang terketuk hatinya untuk merayakan luka dari penjajah atas tanah air kita Indonesia. Atau hanya dengan film, pundi pendapatan lebih cepat balik modal dari ongkos-ongkos yang dikeluarkan. Toh pada akhirnya apakah ini tentang ganti rugi?

IMG_8782

Bumi Manusia hanyalah awal

 Dalam sebuah cerita,  Bumi Manusia adalah karya pertama tetralogi yang saya bilang mungkin bisa diterima oleh umum. Cara penulisan Pram, bagaimana dia mengatur setiap tokohnnya, lalu menciptakan konflik adalah sesuatu yang luar biasa.

Pram membuka awal dengan perjuangan cinta. Karena itulah dasar manusia di bumi ini diberi label manusia. Lewat untaian kata, Pram menuangkan rasa kepada kita. Bagaimana cinta itu bisa menjelma menjadi sejuta rupa. Lewat perbedaan kasta, lewat perbedaan warna kulit dan bahkan lewat perbedaan kemakmuran yang jelas semua orang mungkin pernah merasa.

Bahasa cinta Pram dalam bumi manusia telah menunjukkan, bahwa ketidakadilan memang sudah lahir dari dulu. Dan lagi-lagi kisah cinta disini tidak berjalan indah. Kandas ditengah jalan walau perjuangan sudah berbahan bakar derita dan air mata.

ANAK SEMUA BANGSA, JEJAK LANGKAH dan RUMAH KACA

DSC01710

Seandainya kita ketahui bersama. Setelah Annelis berlayar ke Belanda, dia memang akan tiada. Akhir hidupnya disapa sepi, dia terasing di negeri yang jauh dari cinta dan kasih sayangnya rumahnya.

Kehilangan itulah yang menjadi bahan bakar Minke untuk lebih hidup. Jika boleh saya menggambarkan dalam fase kehidupan, Tetralogi Pulau Buru ini adalah sebuah surat indah tentang bagaimana rasa cinta kepada negeri ini harus tetap hidup.  Dan tak lain tak bukan lewat Minke-lah Pram membawa pesannya.

Minke dalam Novel Bumi Manusia adalah Minke yang mulai menemukan jati diri saat kehilangan menyapanya.

Minke dalam Anak Semua Bangsa adalah tentang Minke yang mencoba memahami untuk apa melakukan organisasi dan apakah arti mencintai negeri.

Minke dalam Jejak Langkah adalah jalan panjang bagaimana dia telah memilih bergerak untuk mencintai negeri. Lewat media dia melawan, lewat jalan panjang akhirnya dia menikah lagi. Walau akhirnya perih dan pedih masih menyapanya kembali.

Dan sekali lagi, Minke dalam Rumah Kaca adalah Minke yang diceritakan dari sisi orang yang begitu sebenarnya mengaguminya namun dia adalah lawannya.

Minke-Minke yang diciptakan Pram adalah imajinasi yang tumbuh bukan dari sebuah penulis yang hidupnya bergembira sepanjang waktu. Dan jelas karya ini juga bukan lahir oleh budayawan yang menerima dana pemerintah lalu meminta Pram untuk menjadi Nelson Mandela.

Jelas ini, jelas lebih luas dari film dan cerita media sosial. Tapi mungkin ini lebih sederhana bagi seorang yang begitu mencintai negeri ini. Menyesap perihnya luka oleh penjajah, mencumbu sesaknya disakiti oleh bangsa ini. Dan lagi-lagi, biarlah imajinasi hidup. Tanpa film, tanpa visual saya sudah terkenang dan tak perlu menegaskan eksistensi dengan melihat film Bumi Manusia secara visual.

Karena memang, seperti yang diajarkan Pram. Setiap kata-kata dan pesannya harusnya bisa sampai kepada semua orang. Hingga Pada akhirnya hanya imajinasi yang menjadi kemewahan kita. Saat kehidupan belum begitu ramah, saat mimpi masih saja sulit diraih. Imajinasi itu yang membawa kita berdiri tegar. Dan sama seperti kata Pram dalam Bumi Manusia: “Kita telah melawan, sebaik baiknya, sehormat hormatnya.”

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

6 thoughts on “Memilih Tak Perlu Melihat Film Bumi Manusia

  1. baca disini dulu saja ah..
    istriku soalnya dari kemarin ngebet banget ngajak nonton ini film..
    kalau udah karya hanung dia anu deh..
    tapi aku pengennya Hobb and Shaw hehe

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.