Selalu ada pembenaran manusia untuk melihat keindahan. Padahal perih bekas tambang itu tampak abadi. Menyakiti alam dan jelas membahayakan masa depan. Itupun bila engkau paham bagaimana nasib anak cucu kita nantinya akan lahir meratapi alam kita yang terluka. Mereka akan tumbuh dengan kenyataan bahwa alam mungkin tak lagi ramah dengan manusia.

indah?
Saya masih ingat beberapa wisata indah namun miris. Dipuji namun menyakitkan. Dulu awalnya saya pernah membahas Brown Canyon Semarang. Kini saya akan kembali membahas tentang Danau Kaolin di Belitong.

Begitulah kehidupan
Pada tahun 2014 potensi timah Indonesia memang diakui dunia. Pemerintah Bangka Belitung mencanangkan produksi 70.000 ton timah dalam Rencana Kerja dan Anggaran Belanja (RKAB) 2016.
Per November 2016, Badan Pusat Statistik (BPS) melansir, terjadi penurunan nilai ekspor timah sebanyak 29,87% , non timah alami peningkatan 4,95%. Meskipun begitu, penyumbang terbesar tetap timah.
Darwis Sitorus, Kepala BPS Pangkal Pinang menyebutkan, total ekspor timah sebanyak US$73,72 juta. Yang berasal dari Singapura sebanyak US$18,62 juta, Jepang US$13,57 juta, Belanda US$9,18 juta, Taiwan US$7,31 juta dan India US%5,79 juta.
Sedangkan, ekspor komoditi non-timah Bangka Belitung, antara lain lemak dan minyak hewani dan nabati (US$14,01 juta), kopi, teh dan rempah-rempah (US$4,19 juta), karet dan olahan karet (US$0,29 juta). Ekspor perikanan, seperti ikan dan udang US$0,39 juta dan produk kimia US$0,55 juta. (Mangobay)
Jelas hal ini menunjukkan bagaimana uang begitu berperan bagi manusia melukai alam. Kata “target” mencabik raga ibu pertiwi. Dan atas dalih pembangunan beberapa orang menghalalkannya.

Terbuang dan tersisa
Danau itu berwarna biru, berkilau diterpa sinar matahari. Saya datang seorang diri. Merasakan bagaimana hening dan mengerikannya tempat ini. Dalam keindahan masih saja kusimpan luka. Dan di permukaan, orang terlalu sibuk berfoto dengan latar belakang alam yang tergores dan akan tampak binasa.
Sudut tambang ini sepi, imajinasi saya akan kerusakan terpampang nyata. Benarkah kita ini banci eksistensi yang rusuh, atau hanya senyawa tak berarti yang mengemis gengsi bahagia?
Sedih sih aslinya liat ginian, tapi orang Indonesia kan latah senengannya.
Begitulah kang, btw kapan jenengan teng Jakarta. Kulo akhir bulan baru teng Jakarta kang
kalau mau mendarat pesawatnya di atas langit belitong, jelaslah, ini tak lebih dari koreng yang berceceran di mana2…upss
Hhehehehe bener sekali mas, keras namun begitulah adanya
Bener sih, Mas. Sisa-sisa tempat penambangan, bisa memunculkan keindahannya sendiri. Tapi, sebenernya miris juga :’
Semoga membuka mata akan pariwisata dari berbagai sisi mas
Aamiin, Mas.
Maka demikianlah, Mas? Terkadang dibalik kata kreativitas, ada sela luka yang tak disadari banyak orang. Beberapa literasi yang saya baca tentang bekas-bekas peninggalan sejarah di luar Indonesia, dijadikan museum, atau minimal dijadikan tonggak pengingat peristiwa yang terjadi di tempat tersebut.
Tapi memang kita harus jujur pada diri kita, bahwa kesadaran kita tentang sejarah masih rendah.
Saya masih ingat betul beberapa foto selfie dengan latar bencana Tsunami Banten. Bahkan beberapa media internasional menyebut, orang Indonesia suka berbahagia di atas penderitaan orang lain.
Karena itu, dibutuhkan kesadaran semua pihak, termasuk penyelenggara negara. Karena bagaimanapun, negara mesti bertanggungjawab atas apa yang terjadi di bekas tambang itu misalnya.
Demikian sih, menurut saya. Salam kenal dari anak desa…
Saya sepakat mas. Saya pun dengan sejarah juga sangat minim, Padahal jelas bangsa yang besar adalah bangsa yang mengahrgai sejarah. Terima kasih sudah mengingatkan saya mas…. makasih sudah berkenan berkunjung dan meninggalkan komentar
Ini kalau dibuat lebih lengkap dan detail lagi sebagai sebuah esai foto, termasuk sosok-sosok orang lokal yang hidup di sekitarnya, wisatawan, akan sangat menarik. Karena, selalu ciamik fotonya 🙂
Hahaha pengennya mas, tapi memang sangat butuh effort. Semoga bisa konsisten nulis kayak mas Rifqy
jenengan gimana kabar mas?
Saya juga masih berusaha konsisten, kok. Hehe. Alhamdulillah baik 🙂
waktu ane ke belitung liat dari pesawat miris ya banyak tambang liar di mana mana jadi menyisakan lubang yang kurang enak di liat.