Selalu ada sudut pandang lain dalam kehidupan. Bagaimana seorang seniman telah menaruhkan hati, fisik dan pikiran tentang apa yang dia lakukan. Ludruk di dalam hati, Ludruk sampai mati.

Berdandan sepenuh hati, menyampaikan seni
Pikiran saya rasanya dihantam oleh paku besar yang bernama ketidaktahuan. Hampir 6 tahun tinggal di kota ini. Rasanya saya sudah dengan baik mengenal sudut kotanya. Dari Wonokromo sampai Keputih, dari Bratang sampai Kapas Krampung, dari Kenjeran sampai Monkasel. Tapi aku masih saja alpa akan apa yang ada di dalamnya.
Wisata dan cerita tentang Surabaya adalah buku besar yang tak ada habisnya dibaca. Dimengerti bagi semua orang yang selalu percaya bahwa sifat positif harus digali, lalu disimpan dengan baik di di dalam hati.
Semesta membawa saya ke Surabaya minggu ini karen pekerjaan. Dan entah kenapa juga saya teringat 2 tahun lalu saat komunitas fotografi meliput sebuah seni yang konon sudah lama sekali ada. Dan dia dinamakan Ludruk. Berbekal tanya jawab, dan hasrat ingin menyampaikan pesan, akhirnya cerita ini siap untuk dibuat.

Ludruk di Hati, Ludruk sampai Mati
Percakapan saya dengan ketua Ludruk – sanggar Irama Budaya membawa saya kepada sebuah cerita. Bahwa Ludruk adalah sebuah pesan. Dituangkan oleh para seniman yang seharusnya dilihat oleh para generasi muda. Menjadi alarm ingatan bahwa kita adalah generasi kaya. Lalu kenapa engkau tak bangga?
“Mohon maaf mengganggu. Salam kenal Pak Mei, saya Wahyu. Blogger juga kebetulan bisa buat foto dan video. Saya sedang ada pekerjaan di Surabaya dan kebetulan ingin melihat Ludruk. Bolehkah saya datang ke sanggar dan meliput?”
Demikian saya buka percakapan melalui WhatsApp dengan beliau. Seorang yang baik, salah satu seniman yang tetap mempertahankan kesenian ludruk sampai saat ini.
“Halo mas Wahyu, pada prinsipnya kami tidak keberatan. Yang kami inginkan sederhana saja, bila dengan kreativitas kami seseorang bisa senang kami juga harus senang, dan bila seseorang bisa untung kami juga harus untung.” Jawaban beliau begitu tegas dan lugas. Saya meneruskan percakapan via telepon lalu sembari mengatur janji untuk bertemu dan berkunjung ke lokasi Ludruk.

Pak Mei, Penuh ide dan semangat
Selepas hujan, setelah Surabaya tampak basah dan sendu saya menyusuri gedung THR yang mulai renta. Sisa kejayaan tak lagi tampak. Hanya sepi dan usang, beberapa pedagang dan orang ramai beradu kicau burung menyambut saya sore itu. Saya mengajukan tanya kepada orang di sana, di mana letak tempat pentas Ludruk.
Gedung Irama Budaya terletak di bagian belakang THR. Saya berjalan menyusuri warung-warung kecil di belakang THR dan di ujung jalan saya menemukan bangunan sederhana tanpa nama. Bekas-bekas kejayaan gedung itu masih dapat terlihat.
Foto-foto liputan pentas Ludruk yang terpampang di halaman depan gedung kesenian tampak sedikit usang. Saya mencoba menakar. Betapa semangat pentas ini masih terjaga walau mungkin zaman mungkin telah merubahahnya.

Tua namun semangat terus ada
Begitulah dunia kita. Terkadang lebih menyenangkan mengingat budaya luar daripada budaya sendiri. Saat diakui oleh pihak asing baru merasa kebakaran. Tetapi melihatnya pun enggan. Padahal asal kita tahu, untuk menonton Ludruk saat ini tak dikenakan biaya. Bahkan Pemprov malah memberikan dana 5 juta setiap pentas. Cukup untuk transportasi pemain ludruk yang banyak. Karena mengharap tiket pun rasanya sulit. Kalau tanpa cinta, tak mungkin mereka bertahan tentunya.

Tempat minim bukan alasa. Karena karya adalah hal yang harus disampaikan
Percakapan saya dengan ketua Ludruk Irama Budaya membuat saya bisa melihat proses para pemain ludruk dari bersolek sampai pentas. Karena hari itu ada 5 pentas ludruk dalam satu malam, maka hanya beberapa pemain saja yang datang. Yang berusia senja, dengan kesederhanaan rias make-up tapi masih penuh asa, ingin menyampaikan ekspresi dalam panggung seni yang indah.
Tak ada make-up artist, mereka berdandan sendiri. Alat make-up nya pun sederhana. Di sudut ruangan gelap, di antara kamar-kamar sempit dengan potongan cermin kecil, terlihat semangat beliau masih saja berkarya. Aku yang muda pun rasanya malu. Bagaimana sebuah seni sudah mengalir dalam darah maka apapun yang terjadi pentas harus tetap berjalan. Masalah makan dan bayaran bukan utama, tetap berkarya menjadi tujuan. Dari sini tidakkah hatimu tidak tergugah untuk menonton. Menyumbangkan rupiah demi budaya kalian sendiri.

Tetap berkarya

Panggilan jiwa
Setiap sabtu kawan. Di belakang THR cerita tentang Ludruk itu ada. Mari datang dan hiduplah dalam bagian menjaga sejarah bangsa ini. Dan selamat menikmati.
Ludruk di hati, Ludruk sampai mati.
Tetap jaga budaya Indonesia yang mulai tergerus jaman.
AMIN kak,
terima kasih sudah berkunjung dan membaca
Kita semua ikut berdoa agar Ludruk tetap ada dan terus bertahan di tengah zaman seperti ini. Berharap agar generasi muda terus menjaganya.
Amin mas…
Semoga
Nggak nyangka juga masih ada pentas ludruk di Surabaya. Makasih mas atas tulisannya. Otomatis nanti aku klo ke Surabaya lagi, pasti mampir dan menyaksikan kesenian yang hampir pudar dan tidak terdengar.
Siap mas Idola. Mari ramaikan kembali budaya seperti ini
Suatu saat kalo lagi pulang kampung ta mampir SBY buat nonton. Semoga kesampean ngenalin anak kutu ke Ludruk, kesukaan eyangnya.
Amin mas, matur suwun sakderenge njeh mas
mirip ketoprak di jawa tengah hanya saja ketoprak ada pemain wanita, nasibnya pun sama, mati segan hidup enggan
Suka sekali dengan tulisan ini Mas, foto-fotonya membuat saya terenyuh dan malu dengan semangat mereka para pemain Ludruk.
Saya kesana mencuri semangat mereka untuk terus berkarya mas…
kalo gak ada yang mengulas kebudayaan Indonesia, mungkin ntah apa jadinya ya bang bertahun tahun kemudian, sepertinya kearifan lokal udah gak ada lagi
foto foto abang sendiri seperti menceritakan bahwa tiap seni ada usaha yang kadang orang tak mengerti, bikin haru
kebudayaan yang hampir terlupakan … harus sering diangkat atau di ceritakan di blog dan medsos .. supaya anak2 millenial mengenal kebudayaan ini.
foto2nya keren .. sangat bercerita
Setuju, itu yang ingin saya kemas