Sebuah tulisan indah dari sahabat terbaik kitfrique007, dan suatu kehormatan mau dititipkan di blog ini.

Keindahan aceh karya : @kitfrique007
A-ceh. Berkunjung ke provinsi terbarat di Indonesia ini merupakan salah satu impianku sejak lama. Namun sebagai seorang perempuan non-muslim berdarah Cina-Jawa yang terbiasa berkelana sendirian, pergi ke Nanggroe Aceh Darussalam hanya tinggal imajinasi saja. Aku membayangkan betapa ketatnya hukum syariat di Aceh, dan betapa tidak amannya Aceh bagi wanita yang buta akan hukum syariat Islam seperti aku—sendirian pula.
Kemudian terjadi sesuatu. Menjelang tanggal di mana aku telah mematangkan rencana untuk pergi ke Lombok, terjadilah gempa bumi yang berkepanjangan dan begitu merusak di Pulau Seribu Masjid itu. Dengan berat hati aku memutuskan untuk menunda perjalanan ke Lombok, meski cuti sudah terjadwalkan. Seperti suatu kebetulan, aku melihat reklame sebuah kelompok pencinta fotografi alam yang membuka pendaftaran untuk menjelajah Aceh dan Pulau Weh. Persis di tanggal yang sama dengan rencanaku pergi ke Lombok yang sudah kuikhlaskan tadi. Kucoba mendaftar. Masih ada tempat! Mestakung.
Persiapan
Karena perjalanan Aceh akan kutempuh bersama dengan sepuluh teman lainnya, ketakutanku pun sirna. Dengan penuh semangat aku menjelajah internet untuk mencari info mengenai peraturan busana yang berlaku di Aceh. Seorang sahabat berbaik hati membelanjakan dua helai tutup kepala untuk kupakai di sana. Warnanya merah dan putih. Ah, dia memang tahu betul warna dari cinta sejatiku. Dengan pikiran penuh khayal akan indahnya tanah Aceh, aku mengemas tutup kepala pemberian sahabatku itu beserta semua perlengkapan fotografiku ke dalam koper. Seusai semuanya, kututup koperku dengan doa.

Keindahan
Bukan Mimpi
Saat pesawat yang kutumpangi melandaskan roda belakangnya pada kerasnya aspal Aceh, terluap perasaan haru yang luar biasa di dadaku. Ini bukan mimpi, kataku pada diriku sendiri. Permadani hijau yang menjadi latar depan Gunung Seulawah seolah bersorak menyambut kedatanganku: “Akhirnya kau datang juga!! Setelah belasan tahun kau hanya berkhayal!” Saat itu tak ada kata yang dapat mengungkapkan sejuta rasa syukurku pada Dia yang memberiku kesehatan dan kesempatan ini.
Di bandar udara itu, sambil menunggu kedatangan teman-teman lainnya, aku memulai penjelajahanku. Aku berjalan dari ujung yang satu hingga ke ujung lainnya. Kedua mataku dengan rakus mengamati semua yang mereka tangkap, sementara bibirku tak henti-hentinya tersenyum. Saya mengangguk dan menyapa semua saja yang kebetulan bertatap mata denganku. Aku heran. Mengapa tidak ada mata yang menatapku nanar, padahal kepalaku tidak bertutup? Kuamati ulang. Ya, mereka semua memang menangguk ramah.
Beberapa percakapan pun terjadi dalam penyusuranku itu. Kebanyakan dari mereka menawarkan jasa transportasi, dan semuanya menanyakan hal yang sama, seolah mereka telah menghafalkan daftar pertanyaan yang sama: “Dari mana, dik?” Dan bila pertanyaan tersebut telah terjawab, maka akan dilanjutkan dengan, “Berapa lama di Aceh?” Anehnya, walaupun berulang kali membalas dengan jawaban yang sama, aku sama sekali tidak merasa bosan. Apalagi keberatan. Saat tiba giliranku bertanya, mereka pun tidak bermalas-malas untuk memberikan banyak informasi mengenai Aceh dan tempat-tempat wisatanya. Malahan gaya bicara mereka terlihat amat bangga.
Karena bandar udara itu tidak besar, penjelajahanku berakhir setelah kurang lebih tiga puluh menit. Aku kembali ke titik kumpul awal. Aku mengambil tempat duduk dan memesan segelas kopi. Pelayannya pun amat ramah. Kami bertukar sedikit canda. Selera humor orang Aceh ternyata boleh juga diadu. Dan persis bersamaan dengan tegukan kopi pertamaku di Aceh, benakku berkata: “Dasar orang bodoh! Sungguh sia-sia ketakutanmu selama ini!”

Keindahan
Karpet Marmer
Sejak dulu aku sangat senang mengamati bangunan-bangunan dengan arsitektur yang indah, terutama yang memiliki sejarah. Saat berada di Eropa, aku banyak mengagumi gereja-gereja dan gedung-gedung, apapun gayanya. Mulai dari gothik, art deco, barok, klasik, hingga arsitektur kontemporer. Menurutku semua karya bangunan yang dirancang dengan hati, pasti memancarkan sebuah aura tertentu. Seakan mewakili jiwa dan nafas perancangnya. Pun di negeri ini. Tak habis-habisnya aku memburu rumah ibadah yang apik-apik. Vihara, pura, gereja, hingga yang paling banyak terdapat di Nusantara: masjid.
Aku ingat betul bagaimana bulu kuduk di tanganku berdiri saat pertama kalinya aku melihat Masjid Raya Sumatera Barat dari kejauhan. Sensasi yang serupa namun dengan rasa yang jauh berbeda kurasakan saat tatapanku pertama kali jatuh pada tiga kubah hitam yang menutupi Masjid Agung Baiturrahman. Aku telah banyak membaca mengenai masjid ini. Aku sudah lama menyimpan rasa kagum. Namun hasrat untuk berkunjung terpendam dalam, terkalahkan oleh rasa takut yang bodoh tadi. Saat kubah hitam keempat dan kelima mulai nampak, ingatanku berteriak gembira karena bangunan berusia lebih dari empat ratus tahun itu akhirnya sungguh-sungguh berdiri di depanku.

Masjid Baiturrahman
Lamunanku berkelana ke ratusan tahun silam, membayangkan semua yang telah dialami oleh tembok-temboknya. Dibangun dengan cinta, dibakar dengan benci, lalu kemudian dibangun kembali dengan pamrih para penjajah. Betapa banyak yang telah ia alami. Betapa banyak doa dan tangis yang telah ia rangkul, dan betapa banyak nyawa yang telah ia naungi saat musibah tsunami tahun 2004 silam. Kelana pikirku sontak terhenti saat sejuknya lantai marmer menyambut telapak kakiku yang telanjang. Bukan, itu bukan lantai marmer, batinku. Itu adalah karpet marmer raksasa.

Hamparan karpet Marmer Raksasa.
Vitto
Sambil berjalan mengelilingi masjid, aku pun membiarkan diriku hanyut dalam kumparan rasa yang tak bernama. Kubiarkan kedua pipiku menjadi hangat dan bola mataku menjadi basah. Aku merasakan betapa aku harus berusaha untuk menghirup nafas yang terasa amat berat karena ditunggangi arus emosiku sendiri. Kubiarkan semuanya. Sudah jauh-jauh sampai di sini, untuk apalah membendung air mata yang ingin menumpahkan dirinya.
Saat alam sadarku sudah kembali penuh, aku mulai memerintahkan otakku untuk bekerja. Mencari sudut pandang yang terbaik. Ya, merupakan suatu kewajiban untuk mengabadikan keindahan ini, juga membagikannya kepada mereka yang belum seberuntung aku untuk diberi kesempatan mengunjungi tempat ini. Waktuku tidak banyak, karena matahari sudah hampir pulang ke rumahnya. Aku memilih tempat yang enak untuk duduk dan mulai mengeluarkan pesawat tak berawakku, drone istilah asingnya—yang anehnya malah tidak asing di lidah orang kita dibandingkan nama Indonesianya.
Kuterbangkan drone-ku yang kuberi nama Vitto itu. Kulihat tampilan di layarku. Merinding. Belum usai menghapus ombak kenikmatan yang dirasakan oleh mata telanjangku, kini aku kembali dihajar dengan keindahan yang nampak dari ketinggian. Sangat berbeda walau keduanya sama-sama indah. Namun kali ini aku tidak mengizinkan diriku larut dalam arus emosi lagi. Kupusatkan konsentrasi untuk mengendalikan Vitto, berusaha semampu maksimalku mengambil rekaman-rekaman foto dan video dari berbagai sudutnya.

Framing

Senja dan kubah
Tidak butuh lama sebelum satu dua anak datang menghampiriku dengan setengah berlari. Mata mereka berbinar penasaran tanpa rasa sungkan dan tanpa jarak. Aku tahu, bukan AKU yang ingin mereka lihat, namun tampilan di layarku yang menarik mereka menghampiriku. Aku melempar senyum kecil lalu mengembalikan konsentrasiku. Layar tampilan kujauhkan sedikit dari badanku agar mereka dapat ikut melihat penjelajahan Vitto.
Kurang dari dua menit kemudian, sekelilingku sudah penuh dengan anak-anak lainnya. Mereka melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang—amat disayangkan—tak kumengerti. Karena aku amat ingin berkomunikasi dengan mereka, aku berkata sambil tersenyum, “Pakai Bahasa Indonesia yuk dik.. Pasti sudah diajarkan di sekolah, kan?” Mulai tampak senyum malu-malu di wajah mereka ketika mendengar perkataanku itu. Mereka mulai saling menunjuk satu sama lain dan ramai berbicara—tetap dalam bahasa Aceh yang tak bisa kutebak sama sekali.
Terdengar dua nada peringatan dari remote control-ku. Rupanya Vitto minta pulang karena baterainya hampir habis. Aku berkata sendiri: “Oke, kita pulang,” sambil mengarahkan Vitto untuk mendekat. Tiba-tiba terdengar celetukan salah satu anak, “Jangan!! Kenapa pulang, kakak?” Kali ini dalam Bahasa Indonesia. “Ini baterainya sudah hampir habis. Kalau tidak pulang nanti dia mendarat di atas kubah. Siapa yang mau jemput dia di atas sana?” tanyaku yang untungnya disambut oleh tawa mereka dan segera diikuti dengan aksi saling tunjuk tahap dua.

Another View
Semua anak terdiam dan pandangan mereka terfokus pada Vitto saat ia mendarat di tanganku. Setelah itu mereka banyak bertanya. Mengenai baling-baling, mengenai sticker yang kutempelkan pada badannya. Bahkan ada dua anak yang sibuk lari ke orang tua mereka dan kembali dengan dua buah baterai AA di tangan. Mengharukan. Kujelaskan bahwa baterai yang dibutuhkan berbeda, tapi jangan khawatir karena masih ada baterai cadangan. Saat Vitto hendak kuterbangkan untuk kedua kalinya, kesunyian yang sama terjadi lagi. Mereka semua memandangi Vitto dengan serius.
Kulempar pertanyaan singkat, “Mau difoto?”
“Mauuu!” jawab mereka.
Aku menempatkan Vitto agak rendah dan mengarahkan kameranya pada kami. Saat mereka melihat diri mereka sendiri di dalam tampilan layar, mereka mulai bersorak. “Siap? Satu, dua, tigaa!” Jepret.

Cheese
Mereka tertawa senang, bahkan ada yang bertepuk tangan. Lama sekali mereka memandangi dan mengomentari foto tadi, yang sayangnya kembali dalam Bahasa Aceh sehingga tak kumengerti. Saat itu aku merasa amat menyesal karena tidak bisa membagikan foto tersebut kepada mereka.
Melanjutkan Langkah
Setiap perjumpaan pasti akan berakhir dengan perpisahan. Ingin menunda perpisahan itu, aku kembali untuk kedua kalinya ke masjid itu keesokan harinya. Nuansa hening subuh itu amat berbeda dengan nuansa hiruk pikuk pengunjung di kemarin sore. Aku kembali mengagumi dan mengabadikan beberapa sudutnya sambil menyaksikan tontonan alam di depan mata. Semburat merah dan ungu yang bersorak menyambut naiknya sang mentari melengkapi keindahan masjid ini. Pada jepretan kameraku yang terakhir, aku berjanji pada diriku sendiri untuk kembali ke tempat ini lagi. Kupaksakan mengayun kaki menuju pintu keluar masjid, karena agenda berikutnya telah menunggu. Kutatap dalam-dalam masjid itu untuk terakhir kalinya. Ia nampak baik-baik saja, tidak serapuh aku. Persis sesaat sebelum aku memalingkan wajahku darinya, kutinggalkan sebagian dari hatiku di atas salah satu kubahnya. Aku percaya, dia aman di tempat itu.***29082018

Perjalanan
ciyee udah terima guest post nihh
aku belom pernah ke kota Banda Acehnya, pengen banget….baru pernah ke Lhokseumawe aja
Aduh, setiap kalimatnya manis sekali.
Ekspresi anak-anak itu memang natural, polos. 😀
bener sekali kakak
kapan saya bisa kesana ya 🙂
ahhhh pingin dijepret juga sama Vitto dan bertepuk tangan. hehehe
Aceh, salah satu destinasi impian di Indonesia
selalu takjub lihat hasil foto mu mas. Belum lagi baca tulisannya. TOP.
Itu tulisan temen mbak. gimana kabar dirimu?
iya, aku kecepetan ngetik dan kirim hehehehe.. kabarku baik mas wahyu. menanti jadwal foto bareng ama dirimu nich.
Yuuuk lah kapan, lama tak liat update Ig mbak Adelia dengan cerita Yoga
lagi baru mau mulai update blog lagi mas… hehehe.. cerita yoga nya ditunggu yach.
selalu takjub lihat hasil foto di blog mu mas. Belum lagi baca tulisannya, kata-katanya manis bangat. TOP.