Saya lebih senang menyebutnya sebagai Negeri sejuta air terjun. Negeri yang kurindu, hingga akhirnya dalam hati dan ucapan ingin berkata betapa bersyukurnya berada di sini, tanah airku Indonesia. Tanah tumpah darah, sampai akhir hayatku tiba.

Aku milikMu
Matahari terasa begitu terik siang itu. Musim hujan masih terasa jauh, sedangkan dahaga masih menggelayut. Saya berjalan tertatih, kurang tidur setelah tadarus di bulan puasa cukup menguras tenaga. Tetapi alam selalu menawarkan kerinduan, dan saya ingin selalu menyambutnya, dengan hati berbahagia tentunya.
Air terjun Mlaten Terletak di Ponorogo tepatnya Desa Temon, Kecamatan Sawoo, Ponorogo. Curug Mlaten masih sedikit menyimpan ketenarannya. Tidak banyak papan penunjuk jalan menuju Curug Mlaten, namun ramahnya warga Ponorogo akan membantu kita menemukannya. Jadi jangan malu bertanya. Siapkan senyum terbaikmu dan mereka akan membalas dengan sifat ramah khas orang Indonesia.

Kalau bukan kita yang menemukan tempat indah Nusantara. Lalu siapa??
Tempat Curug Mlaten masih sangat alami, trackingnya pun lumayan panjang dengan menyusuri ladang dan beberapa tanjakan. Riuh keramaian pun tidak terdengar disini. Begitu asri, damai dan nyaman.
Bagi beberapa warga, air terjun Mlaten mempunyai sebutan lain. Yaitu air terjun kokok atau Sendang Sawoo. Karena tidak adanya warga di sekitar, saya belum tahu asal usul kenapa disebut seperti itu. Bahkan di dunia maya pencarian sejarah air terjun ini juga sangat minim. Sungguh benar-benar menarik untuk digali.
“Masih kuat mas?” saya bertanya kepada mas Kunjung saat itu. Beliau adalah orang Ponorogo asli. Orang yang mempunyai rental mobil paling oke dan mau kuajak blusukan ke Mlaten. “Santai mas, aku sudah biasa badminton. Jadi gak masalah.” Dengan riang beliau menjawab. Dan saya tersenyum menimpalinya. Bukan apa-apa, terik marahari di bulan puasa sungguh berbeda. Kalau bukan orang yang sedang rindu suara gemricik air terjun, tentu mana ada yang mau siang-siang kelayapan. Tracking apalagi. Buang waktu !!

Lihat batu besar diatas, kita menuju kesana. Menuruni tanjakan yang lumayan menguras tenaga
Hampir 40 menit berlalu, pemandangan batuan besar di sebelah kiri jalan dan tanaman tebu sebelah kanan jalan jadi hiburan tersendiri. Tetapi entah kenapa selama perjalanan justru yang saya pikirkan adalah bagaimana pulangnya nanti. Karena jalan mudah dengan kontur relatif menurun saat berangkat akan berlawanan saat pulang. Tanjakan lebih tepatnya. Sungguh, akan menyiksa barangkali.

Cukup menguras tenaga
Aliran Air Terjun Mlaten tidak mengalir begitu deras, tingginya pun saya rasa tidak lebih dari 30 meter. Kemarau tampaknya masih ingin menunjukkan keperkasaannya. Aliran sungai pun mengalir dengan tenang. Batuan besar yang saya terka berumur ratusan tahun menjadi penghias air terjun tersebut. Sungguh unik, jarangnya pohon rindang dengan air yang segar adalah sensasi tersendiri. Seakan saat panas mulai membakar tubuhmu, maka air segar adalah penawarnya

Ada Gua disebalah kiri air terjuan.
Saya melamun membayangkan bahwa jalur sungai air terjun Mlaten adalah bekas aliran lava sebuah letusan gunung berapi. Entahlah aku tidak yakin dengan nama Gunungnya, Barangkali Wilis, atau bisa saja Lawu bahkan mungkin saja tidak keduanya. Tetapi melihat batuan-batuan besar di sekitar sungai itu menjadi dasar pemikiran saya. Bagimana letusannya dahulu begitu dasyhat menciptakan kengerian sekaligus keindahan.
Tidak banyak yang bisa kulakukan disini saat cuaca kemarau dan kondisi puasa yang sedang saya jalani. Tetapi hanya duduk di bawah batu besar yang teduh, saya sudah sangat berbahagia. Mengenal alam. Bersujud kepada sang pencipta dan mengabadikan kenangan tentang air terjun mlaten yang semoga tetap terjaga.
Terima kasih Air Terjun Mlaten, semoga kebersihan dan keindahanmu selalu mempesona.

Thanks Mas Kunjung, yang sudah mengatar sebagai guide dan bantuin bawa Tripod. Kamuh kece

Airnya Tenang, lumayan buat berendam kaki
Noted : Bagi kawan yang ingin berkunjung ke Mlaten dan butuh mobil carteran silahkan hubungi mas Kunjung 081234442724
Seribu air terjun = curug sewu mas hehe..
tanah air ku Indonesia, negeri elok yang amat kucinta 🙂
pengen rasanya keliling Indonesia
lama gak piknik hahaha
Hahahaha podo mas 😀 kurang piknik
bentuk pinggirannya kelihatan mengalami erosi ya, jadi mbayangin seberapa lama dan besarnya tenaga yang mengerosinya….
Bener banget mas. Tenaga yang tentu bisa menimbulkan kengerian
Ahaha jadi teringat pelajaran geomorfologi,, ingetnya masa laluuuuu terus, wkaeakwwka
Kamu harus tau asal usul penamaan nya, kamu nesti balik lagi
Btw sayang debit nya kecil
Kalau musim hujan kayaknya debitnya lumayan deras ya Mas. Tebing di pinggir-pinggirnya itu bagus, memang kekuatan alam ya pasti membuat semua jadi indah. Terima kasih infonya Mas, kalau saya ada kunjungan ke Kabupaten Ponorogo akan saya sempatkan tandang ke air mancur ini, lumayan buat ngaso, apalagi kalau airnya jernih, hehe.
Setuju dan wajib mas, Semoga menemukan pengalaman yang sama
Amin, terima kasih.
Liat Medannya aku langsung nyerah mas 😀 ha ha ha…nggak kuat kalau banyak tanjakan…Tapi bagus banget landscapenya buat di photo..bisa betah
apalagi yang moto mbak Dewi. Pasti ciamik
Hi hi hi..ojo ngonoooo 😀 sama mas juga pasti ciamik lah 😉
mirip geopark yang di Ciletuh, sekilasss
Wah jane apik ya Mas tempatnya, mungkin kudu ke sana saat peralihan musim hujan ke kemarau, saat debit cukup deras dan jalur tidak terlalu becek 😀
Dijadwalkan yuk, kan Pacitan Ponorogo deket 🙂
wah. cakep dan indah mas. segar sekali rasanyaa. dihias pepohonan dan bebatuan yang cakep gitu. syahdu kalau ngeblog di sini yaa. hehe
hanif insanwisata
Bener banget mas. Endes. Cuma sayang jaringan internet gak ada. hahahaha
Mirip miripp… * iki bales komen dari blog * 😆 😆 ayok lah, kapan piknik!?
Aku terharuuu, didatengi blogger keceeeh. ayo carter mobilku ajaah. hahaha