Apakah kita perusak alam atas nama Eksistensi Media sosial

Di saat eksistensi media sosial makin diburu. Maukah engkau ke puncak gunung tanpa membawa kamera?Β 

image

Rakum 5 tahun lalu

Keyboard usangku berjalan pelan dengan sebuah pemikiran yang ada malam ini. Mencoba mengais memori tentang perjalanan kita yang semakin hari terkadang semakin tidak terkendali. Kau boleh punya uang banyak untuk menuju tempat yang ingin kau tempuh. Tetapi dalam hatimu, pernahkah engkau bertanya apakah kita benar benar membagi keegoisan kita dengan hal positif untuk alam ?

image

Foto dari Backpacker Malang Raya

Pertanyaan itu harusnya muncul dalam diri kita. Disaat virus travelling sedang begitu hebatnya menyapa negeri ini. kita tersadar untuk masuk dalam sebuah pemikiran, mengenai hal yang kita cari saat pergi ke alam.

Jika pergi ke gunung soal perjalanan hati, maka puncak hanyalah bonus, tetapi apakah proses instropeksi yang menjadi tujuan?

image

Masih sepi

Akhir akhir ini media begitu ramai membicarakan banyak hal. Kematian saudara kita di puncak tusuk gigi yg dulu puncak garuda (merapi), sampai Ranu kumbolo yang menjadi pasar. Jadi Jika boleh saya mengulang pertanyaan. Apa yang KITA cari? Eksistensi foto bagus di facebook, twitter dan instagram? Atau tulisan kekinian untuk orang orang tersayang? Karena alam tidak sesederhana itu. Ada proses yang masih kita lewati dalam setiap langkah untuk menuju dekapan Tuhan tanpa menjadi perusak ciptaanNya

image

Foto Backpacker Malang Raya

image

image

Saya bukanlah adventur enthusiast. Apalagi pendaki gunung kelas wahid. Cuma tahun 2010 pernah melihat ranu kumbolo terbakar, dan itupun sedihnya minta ampun. Walau saat itu hampir sampah tidak ada karena cuma ada sedikit tenda, ditambah kebakaran karena kemungkinan proses alam soal kemarau.

Tetapi melihat ranu kumbolo yang sekarang dengan sampah yang menggila semakin membuat terluka. Luka dari sebuah korban media tentang pengakuan di tahun internet. Luka sebegitu hebatnya kah dampak negatif dari sebuah jejaring sosial. Menggoda pemujanya untuk menuju tempat yang indah, tanpa mengerti bagaimana menjaganya.

image

5 Tahun lalu

Jadi jika boleh kuulang, maukah engkau ke gunung tanpa membawa kamera? Meresapi dirimu dengan alam sebenar benarnya? atau mungkin lebih tepatnya maukah kita bebersih gunung bersama menjadi solusi?

*catatan ini saya tujukan untuk saya sendiri, saat mulai mengenal kamera walau pergi ke gunung waktu itu cuma modal kamera teman dan ajakan sang kakak yang masih ingat belum ada kamera di jaman 90an :D. setua itukah saya. Dan maukah engkau membagi solusi bersama

Advertisement

39 thoughts on “Apakah kita perusak alam atas nama Eksistensi Media sosial

  1. hanya karena sebuah gaya-gaya an, apakah perlu untuk menyeimbangkan peran blogger untuk memberikan pengetahuan safety, ancaman bahaya sebuah perjalanan yang kadang tak semua orang ingin melakukanya. karena blogger, media sosial pun ikut berperan dalam menyebarkan gambar2 nuansa lestari gunung πŸ˜€

  2. Saya sulit berkomentar. Sudah dari lama saya bilang, Ranu Kumbolo jauh lebih magis dan menarik daripada eksotisme Mahameru. Di sana kini bertumpuk, antara yang ingin pertama ke Ranu Kumbolo, ada yang rindu. Semeru terbebani, mungkin saatnya mengadopsi peraturan TN Gede Pangrango, yg ditutup kembali Juni/Juli-Agustus. Andai saja, kamera itu ditarik ongkos senilai biaya konservasi yang sepadan. Kita semakin kaya, mudah, seperti Gol A Gong bilang, kita adalah backpacker/pendaki digital, yang tanpanya kita mati, kehilangan sentuhan kemanusiaannya 😦

    • beeeeneer…

      “kita adalah pendaki digitial yang tanpanya kita mati, kehilangan sentuhan kemanusiaannya”

      yakin deh kalo bawa kamera dikenakan biaya oang pasti mikir, secara di jakarta pernah ada tempat yang mau foto harus bayar, padahal itu bagus.

      jadinya sepi sih.. cmiiw

      makasih mas dah mampir

  3. Di saat eksistensi media sosial makin diburu. Maukah engkau ke puncak gunung tanpa membawa kamera? << pertanyaan refleksi yang bagus. Sejujurnya aku sering bertanya gitu sama diri sendiri.

  4. sisi narsis memang tak bisa lepas dari manusia. lama-lama justru akan bernasib seperti Narcissus yang mati karena terlalu mengagumi mukanya sendiri?

  5. Waduh, ini masalah memang menarik karena cukup kompleks dan bisa dikupas dari berbagai sisi.

    Pertama, menurut saya, ada cenderungan anak-anak muda Indonesia ini makin hari semakin ingin eksis menunjukkan jati diri mereka. Bahwa mereka pernah ke suatu tempat dan dengan itu mereka bangga (seperti saya contohnya, hehehe :p). Mumpung masih muda, sebelum tanggung-jawab kian bertambah dan kemampuan fisik menurun. Ada benarnya juga kan?

    Kedua, gempuran teknologi di jaman sekarang ini makin mempermudah para anak muda untuk menunjukkan eksistensi diri mereka. Smartphone berkamera kian terjangkau. Begitu pula dengan aplikasi media sosial semacam Instagram. Jadinya anak-anak muda ini makin terdorong untuk lebih eksis.

    Ketiga, ini yang patut disayangkan, anak-anak muda umumnya masih impulsif dan sebagian besar warga kita belum paham untuk menjaga kelestarian alam. Apalagi populasi penduduk Indonesia terus bertambah pesat. Alhasil, saat ini populasi anak-anak muda pun lebih banyak dibandingkan dekade-dekade sebelumnya.

    Jadi itu menurut saya. Karena ada kemudahan dan massa yang cukup besar, alhasil pendakian gunung jadi seperti itu. Untuk menanggulanginya gampang kok. Dipersulit dan dibatasi saja massanya.

    • benar mas… saya setuju dengan segala yang diutarakan jenengan..

      tetapi perlu dicatat juga sebenarnya semeru itu udah ada pembatasan. 500 orang per hari. nah masalahnya mendaki kan biasanya gag cukup 3 hari ya. jadi misal 500 perhari kali 3 hari aja udah 1.500 orang makanya keepadatannya seperti itu.. ditambah pihak2 juga buuh pemasukan.

      jadi yang paling ,udah mungkin jika kamera dikenakan biaya mungkin orang mikir gag ya πŸ˜€

  6. Papandayan 5 tahun lalu maksimal cuma ada 5 tenda saat weekend, bulan lalu kesana sudah seperti di bumi perkemahan Cikole dengan ratusan tenda 😦
    Semeru 3 tahun lalu pun masih sesepi fotonya mas, sekarang sepertinya selalu padat ya?

    Ah, tampaknya film dan medsos sudah mengubah segalanya. Alam memang milik semua orang, tapi apakah semua orang sadar mereka bertanggung jawab untuk menjaganya? πŸ™‚

    • betul mbak, beruntung lahir di generasi lama. πŸ˜€

      hahahaha, tapi masih banyak kok tempat yang masih sepi. :p

      , cuma yang sangat disayang ada yang pergi hanya untuk sebuah eksis semata, walau senyatanya memang itu hak mereka. semoga alam masih terjaga

  7. Jadi mikir lagi untuk ikut bergabung mendaki, ntar malah jadi perusak alam sekitarnya lagi, gegara treknya yang padat, terus sampah akan merajalela, dan yang paling parah adalah tangan2 jail yang ikut berkontribusi dalam menyerawutkan alam di gunung itu 😦

  8. agak bingung juga ngomentarinnya, karena disatu sisi mereka berhak untuk traveling/backpacking/naik gunung dll dengan berbagai alasan haha.. dan kebetulan hari libur setiap orang kebanyakan diatur sama kalender tanggal merah bukan karena keinginan sendiri.. dan soal medsos memang sih belakangan jd alasan org untuk traveling. Yang penting foto tanpa menemukan makna *tsah* dari perjalanan itu sendiri….. salam kenal mas.

  9. saya sukanya ke pantai, bukan gunung. πŸ™‚ Miris banget lihat orang-orang yang kurang rasa pedulinya. Entah apa yang ada di benak mereka, mungkin ada sebagian orang berpersepsi, ‘sudah ada yang mengelola kebersihan, kok, dan mereka dibayar’. Untungnya saya sudah mulai belajar sakuin sampai di kantong ransel. Alhamdulillah, kemajuan, hehe.

  10. Baca postingan ini sambil dengerin lagunya
    Ritta Rubby Hartland – Kepada Alam Dan Pencintanya.
    jadi jleb banget.

    nice post mas.semoga pesan-nya sampe.
    dan semoga saya bisa ke ranukumbolo juga tapi gak merusak πŸ˜€
    AMINNNNNN

    • Amiiiin mas..

      btw saya belum pernah denger lagunya dan langsung penasaran..

      ternayata asik juga ya :D, setahu saya cuma mahameru dewa19 dan eddie vedder yang asik, ternyata ada yang lain

  11. Setuju…
    Mendaki gunung adalah perjalanan hati.
    Makin dekat dengan alam harusnya makin rendah hati
    Sadar akan kekerdilan diri
    Tak perlu pamer foto demi eksistensi diri

    *banting kamera

  12. Bingung ah πŸ˜€
    Biar gimana juga, berfoto jadi salah satu penyemangat aku sama temen2. Kadang pas sampe rumah selalu nyesel, kok fotonya dapet sedikit doang. Karena biarpun suka foto, pas sampai disuatu tempat itu kayak terhipnotis sendiri dan justru lebih nikmatin pemandangan aslinya.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.